HARIANDI MAULID: "DARI PESANTREN & S1 BELUM TERAKREDITASI BERHASIL MERAIH BEASISWA DEPKOMINFO & DIKTI"

Semenjak SD, orang tuaku sangat keras dalam urusan belajar, terutama yang berkaitan dengan agama. Tiap hari selepas sekolah SD, aku harus masuk madrasah hingga sekitar pukul 5 sore. Menjelang maghrib, aku sudah harus berangkat lagi ke mesjid untuk belajar mengaji hingga isya. Selepas isya aku pulang ke rumah untuk makan malam sambil bersiap untuk pergi ke mesjid lain. Ya, dari kecil aku sudah terbiasa tidur di mesjid bersama teman-teman mengajiku. Biasanya sebelum tidur kami belajar bersama, bahasa arab adalah pelajaran yang paling aku sukai. Setelah shalat shubuh hingga pukul enam pagi, kami belajar berbagai ilmu lagi dengan dibimbing oleh seorang ustadz. Demikian kegiatanku sehari-hari sampai lulus SD. Pesantren kemudian menjadi pilihanku untuk melanjutkan belajar. Pesantren menyediakan dua pilihan jenjang pendidikan 6 tahun: pertama, 50% agama dan 50% pendidikan, dan kedua, 5% umum dan 95% agama. Aku memilih yang kedua, karena aku tidak terlalu suka pelajaran umum terutama matematika. Karena sesuatu hal, studiku di pesantren tidak sampai selesai. Padahal sebenarnya waktu itu aku sudah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Kuwait melalui kerjasama pesantren dan departemen pendidikan Kuwait. Akhirnya, aku kembali ke kampung halaman dan mengikuti persamaan SMP dan SMA.

Selepas SMA, aku ingin sekali melanjutkan ke bangku kuliah. Tapi, orang tuaku yang cuma pedagang buah kaki lima terbentur masalah biaya. Apalagi saat itu kakakku masih kuliah tahun terakhir, ditambah dengan kenyataan bahwa beberapa kerabat bapakku yang sudah lulus kuliah dari universitas terkenal pun hampir semuanya menganggur. Jadi, menurut bapakku buat apa buang-buang duit buat sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya nganggur. "Mendingan bantu bapak dagang atau cari kerja aja, malah dapat duit tuh", kata bapakku.

Namun, keinginanku untuk kuliah rasanya tidak terbendung lagi. Soal biaya, aku yakin bahwa Allah akan membukakan jalan bagi hamba-Nya yang mau berusaha. Berbekal tekad dan uang Rp. 30.000 pemberian ibuku, aku pergi dari rumahku. Gak jauh-jauh sih, cuma sekitar 1 setengah jam dari rumahku, tepatnya ke rumah salah satu temanku selama di pesantren. Dari sana aku mulai bergerilya dari satu kampus ke kampus lain di kota Bandung, mencari peluang kuliah tanpa bayar alias gratis. Aku mencoba beranikan diri menemui ketua yayasan, direktur, atau bahkan rektor dari kampus-kampus tersebut untuk menceritakan keinginanku untuk kuliah sekaligus mencari peluang beasiswa. Berkali-kali aku mencoba, berkali-kali pula aku ditolak.

Akan tetapi Allah kemudan menunjukkan kebesaran-Nya. Ketika aku mendatangi sebuah kampus, yang bahkan pada awalnya tidak aku perhitungkan, mereka sangat welcome sekali dan bersedia memberikan kelonggaran biaya tapi untuk semester pertama saja dengan syarat aku harus lulus tes tertulis dan wawancara. Ketika wawancara aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku sanggup untuk kuliah di jurusan manapun (waktu itu jurusan yang ada adalah teknik informatika, manajemen informatika dan komputer akuntansi) walaupun latar belakang pendidikanku sebelumnya sama sekali tidak mendukung. Bahkan, pada waktu itu aku sama sekali tidak mengerti apa yang akan dipelajari di jurusan teknik informatika yang akhirnya aku pilih. Yang ada di benakku pada waktu itu pokoknya aku harus kuliah ga peduli di kampus atau jurusan manapun.

Akhirnya aku diterima kuliah di kampus tersebut (tahun 1998). Hari pertama kuliah bikin aku syok, pelajaran matematika yang dari dulu sangat aku tidak sukai kini malah mucul lagi di hari pertama kuliahku dalam bentuk mata kuliah KALKULUS. Celakanya tidak hanya itu, karena setelah aku liat di daftar mata kuliah, kalkulus tidak hanya satu bahkan tiga semester, belum lagi ada mata kuliah matrix dan ruang vector, matematika diskrit, logika matematik, dan aljabar linier. Agak bingung juga awalnya. Namun, ketika aku ingat akan tekadku dan juga atas bantuan teman-teman satu angkatanku, akhirnya aku bisa melewati semester pertama dengan baik. Semester dua dan tiga bisa aku lewati sambil bekerja sampingan untuk membiayai kuliahku. Semester 4 baru timbul masalah karena aku tidak bekerja lagi. Akhirnya, aku mengajukan cuti dengan alasan tidak ada biaya. Namun, subhanallah, cutiku tidak diterima dan soal biaya pihak kampus berusaha mencarikan beasiswa dengan syarat aku harus aktif di kemahasiswaan. Singkat cerita (tahun 2003), atas bantuan pihak kampus, akhirnya aku lulus sarjana dan tibalah waktu wisuda. Ada satu hal yang terus aku ingat ketika wisuda. Ketika teman-temanku datang ke tempat wisuda (di sebuah hotel di Bandung) dengan diantar oleh sanak keluarganya menggunakan kendaraan pribadi, aku cuma datang sendiri itu pun dengan naik angkutan umum. Ibu dan kakakku yang akhirnya datang menyusulpun juga sama naik angkutan umum.Setelah lulus kuliah, aku sempat beberapa kali berpindah tempat kerja sebelum akhirnya pada tahun 2005 aku diterima menjadi PNS dosen dan ditempatkan di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung.

Jujur, pada saat itu tidak ada kepikiran untuk melanjutkan kuliah. Gelar sarjana saja dengan susah payah aku dapatkan, apalagi untuk S2 pasti lebih berat lagi tuh tantangannya. Tahun 2007 aku menikah, dan pada tahun yang sama salah seorang dosen rekan kerjaku mendapatkan beasiswa ADS untuk S2 di Monash University. Iseng-iseng aku nanya rahasianya, dia bilang coba browsing aja website-nya ADS dan yang paling penting persiapkan kemampuan bahasa inggrisnya, untuk Australia coba pake IELTS minimal 6,5. What? Bahasa inggris? IELTS? Kebetulan lagi-lagi bahasa inggris adalah pelajaran yang tidak aku sukai, tidak heran kalau kemampuan bahasa inggrisku pas-pasan. Tapi istriku bilang coba dulu deh, gimana mau tahu kalau ga dicoba, kan bisa ikut kursus persiapan IELTS. Akhirnya aku coba datang ke sebuah tempat kursus bahasa inggris dan ikut pra-test/placement test untuk liat berapa skor awal IELTS-ku. Hasil test-ku rendah sekali, cuma dapat overall 4.5. Sadar dengan kemampuanku, akhirnya aku ikut IELTS preparation, setelah selesai aku langsung coba official IELTS test dan alhamdulillah dapat nila 6.0, cukup untuk daftar ADS.

Tahun 2008 kucoba melamar ADS lewat jalur PNS. Karenanya aku harus mendapatkan rekomendasi dari Kopertis dan endorsement dari Badan Kerjasama Luar Negeri (BKLN) Depdiknas. Setelah mendapatkan rekomendasi Kopertis, aku langsung ke Jakarta untuk mengurus endorsement, harus cepat karena deadline-nya tinggal seminggu lagi. Sesampainya di DIKTI, dengan semangat 45 aku langsung menemui bagian terkait. Namun, jawaban dari petugas malah membuatku kecewa. Mereka bilang bahwa pendaftaran untuk ADS sudah ditutup seminggu yang lalu. "Lho, bukannya deadline-nya itu minggu depan?" "Iya,itu kan deadline dari ADS-nya, untuk deadline ADS di DikTi adalah 2 minggu sebelumnya, supaya ada waktu untuk proses endorsement di BKLN," katanya. Mendengar itu lemas rasanya seluruh badanku, sia-sia rasanya semua usahaku ini. Ya sudahlah masih ada tahun depan, pikirku.

Sambil menunggu ADS tahun 2009, aku coba mencari sumber beasiswa yang lain. Dari mulai beasiswa dikti, chevening, OFID, Erasmus Mundus, Shell, DAAD, hingga StuNed, semuanya aku lamar. Namun hasilnya nihil, semuanya GaTot alias GAGAL TOTAL. Mungkin selain karena skor IELTS-ku yang pas-pasan, aku pun belum mendapatkan letter of acceptance dari universitas yang aku tuju. Hampir semua universitas top di Australia dan Eropa menolakku dengan alasan yang sama "Sorry, the university where you attained bachelor degree was not recognised...". Ya, aku mendapatkan S1 memang bukan dari ITB, UI, UGM, ataupun UNPAD, tetapi dari sebuah sekolah tinggi ilmu komputer yang belum banyak orang tahu.

Awal tahun 2009, aku mencoba memperbaiki semua kekuranganku. Aku coba meningkatkan skor IELTS-ku dengan mengikuti IELTS preparation di lembaga kursus yang berbeda, sambil terus berlatih sendiri. Alhamdulillah, skor IELTS-ku meningkat menjadi 6.5. Kemudian aku coba mendaftar ke beberapa universitas di dunia. Hasilnya hampir sama, rata-rata semuanya menolak. Namun, ada beberapa yang memberikan conditional offer dengan syarat aku harus mengirimkan surat akreditasi terakhir atau surat resmi dari Departemen Pendidikan yang menyatakan bahwa kampus tempat aku menyelesaikan S1 tersebut telah terakreditasi. Aku bingung, karena pada waktu itu kampus tersebut belum terakreditasi. Jadi, tidak mungkin bisa aku kirimkan dalam waktu dekat.

Seperti kata pepatah, "dimana ada kemauan, disitu ada jalan". Salah satu agen pendidikan Australia pada waktu itu memberikan informasi bahwa akan datang international recruitment officer dari salah satu universitas yang memberiku conditional offer (CO). Kesempatan ini tidak aku sia-siakan, aku segera menemuinya dan mencoba mengkonfirmasi mengapa aku hanya dapat CO. Dengan santai dia berdiri sambil memegang ijazah S1-ku dan bertanya hampir ke semua orang yang hadir disitu: "Kamu tahu kampus ST*** ***** ini ga? Dan semua orang menggeleng kepala tanda mereka tidak mengenalnya. "You see what I mean?" katanya sambil tersenyum. Waktu itu aku juga santai aja karena memang tahu jawabannya bakal begitu. Iseng-iseng aku coba bertanya, jadi kalau misalkan besok hari saya bisa menyediakan surat yang diminta tersebut saya bisa langsung diterima? "Absolutely", jawabnya. Sambil bercanda aku bilang, "Lalu apa bedanya saya hari ini dengan saya besok? Apakah dengan adanya surat itu kemampuan personal saya otomatis meningkat menjadi lebih baik atau tidak?", "hmmm, ya tentu tidak" jawabnya. "Lalu kenapa masih perlu surat itu untuk melihat apakah nanti saya mampu menyelesaikan studi atau tidak?", demikian diskusi itu berlanjut, Hingga akhirnya dua hari kemudian aku menerima email dari university bersangkutan yang berisi Unconditional Offer bahwa aku diterima secara penuh di universitas tersebut,

Alhamdulillah. Dengan cara yang hampir sama dan melalui diskusi dengan professor yang bersangkutan akhirnya aku mendapatkan unconditional offer dari 8 universitas top di Australia, Belanda, Jerman dan Inggris.

Kembali ke ADS 2009, jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan aplikasi ADS, dari mulai pengisian form, persiapan dokumen termasuk rekomendasi dari kopertis. Malangnya, pengurusan rekomendasi dari kopertis tahun ini lebih sulit daripada tahun lalu seiring dengan pergantian koordinator kopertis yang baru. Butuh dua bulan hingga akhirnya aku mendapatkan surat itu di detik-detik terakhir pendaftaran (deadline versi dikti). Tidak membuang waktu besoknya (karena itu hari terakhir) aku langsung meluncur ke Jakarta untuk medapatkan endorsement dari BKLN. Hari itu lengkap sudah proses pendaftaran ADS, karena selanjutnya pihak Dikti sendiri yang akan menyampaikan aplikasi itu secara kolektif ke ADS. Dan sambil menunggu pengumuman ADS, berbekal unconditional offer dari beberapa universitas, aku juga mencoba daftar beasiswa dikti. Sembari terus berdoa kepada Allah supaya diberikan kelulusan.

Pengumuman ADS pun tiba, dan akhirnya.......namaku kembali tidak tercantum sebagai calon penerima atau jelasnya DITOLAK. Iseng lagi aku coba konfirmasi ke kantor ADS, dan jawaban yang mengagetkan adalah "Maaf, kami tidak pernah menerima berkas aplikasi anda, artinya anda tidak mengirimkan berkas lamaran kepada kami", begitu katanya. Jadi? Ya, sudahlah aku hanya bisa pasrah saja.

Masih ada harapan, beasiswa DIKTI. Oktober 2009, aku dipanggil ke Jakarta untuk wawancara beasiswa dikti. Akan tetapi hingga awal 2010 aku belum juga mendapatkan kepastian apakah diterima atau tidak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk daftar beasiswa depkominfo yang kebetulan tahun 2010 juga membuka pendaftaran. Sayangnya, waktu itu aku belum mempunyai nilai TPA yang minimal 550 sebagai salah satu syarat melamar beasiswa Depkominfo. Terpaksa aku harus ikut tes TPA di Jakarta, karena di Bandung belum ada jadwal tes TPA untuk bulan tersebut. Alhamdulillah hasilnya memuaskan, aku dapat skor lebih dari 550. Berbekal semua persyaratan, aku beranikan diri daftar beasiswa Depkominfo.

Penantian panjangku terjawab sudah, April 2010 aku dinyatakan lulus beasiswa DIKTI. Selang beberapa hari kemudian aku juga dinyatakan lulus ke tahap wawancara beasiswa depkominfo. Aku pikir ga ada salahnya menghadiri wawancara beasiswa depkominfo. Di luar dugaan, seminggu kemudian aku juga dinyatakan lulus sebagai salah satu dari 35 orang penerima beasiswa depkominfo. Cepat sekali keputusannya, pikirku. Subhanallah, kalau dulu aku bingung karena gak ada yang diterima, sekarang aku bingung harus milih yang mana karena diterima oleh 2 beasiswa yang berbeda. Selanjutnya, aku istikharah memohon petunjuk kepada Allah agar memberikanku yang terbaik, dibarengi dengan diskusi dengan keluarga, orang tua, dan rekan-rekan kerjaku, akhirnya pilihanku jatuh ke beasiswa Depkominfo untuk meneruskan kuliah MSc in Advanced Computing Internet Technology with Security, Department of Computer Science, Faculty of Engineering, University of Bristol, United Kingdom.

Kamis, 23 September 2010, pertama kalinya aku menjejakkan kakiku di London Heathrow Airport, Inggris. Senang bercampur sedih berkecauk dalam pikiranku. Senangnya, setengah tidak percaya kalau aku, Hariandi Maulid, orang Bandung bobotoh PERSIB yang nyantri dan dulunya tidak senang matematika dan bahasa inggris, kini harus kuliah jurusan security yang notabene isinya matematika dan logika, dan berbahasa Inggris juga. Sedihnya, karena aku harus meninggalkan putriku tercinta yang baru berusia 2 bulan. Tetapi semuanya terbayar sudah, sekarang, hari ini (15 Februari 2012, waktu saya menuliskan cerita ini) aku sedang di wisuda dan boleh berbangga hati untuk menyelipkan gelar MSc dibelakang namaku, Alhamdulillahirabbilalamiin.

Previous
Next Post »